Rabu, 18 Maret 2009

Musik Seriosa

Pranawengrum 40 Tahun Menyusuri Musik Seriosa

Kompas/ninok leksono
Pranawengrum Katamsi
"Air mata pun titik, kar'na hatiku telah terganggu...."

Itulah baris terakhir lirik lagu Setitik Embun ciptaan Mochtar Embut yang Rabu (20/6) malam dinyanyikan Aning Asmoro Katamsi di Auditorium Erasmus Huis, Jakarta. Beberapa saat kemudian mengalun suara bening lain yang juga membuat malam makin mempesona, suara Binu Sukaman yang melantunkan Kisah Mawar di Malam Hari ciptaan Iskandar.

Keduanya, malam itu tampil untuk menyemarakkan acara senior mereka, Pranawengrum Katamsi, yang pada satu masa tak berlebihan disebut sebagai "Ibu Seriosa Indonesia". Rabu malam itu memperingati 40 tahun perjalanan kariernya di blantika musik seriosa, jenis musik yang berjaya di dekade tahun 1950-an dan 1960-an, seiring dengan maraknya pemilihan bintang radio oleh RRI, yang kemudian diperkuat oleh lahirnya media televisi. Musik ini membawa nuansa lebih serius daripada sekadar musik hiburan biasa. Mungkin para penggubahnya banyak mengagumi aria-aria opera, tetapi dengan memasukkan nuansa keindonesiaan menonjol. Musik seriosa kiranya bisa mengingatkan orang pada art song atau lieder yang banyak digubah, misalnya, oleh Franz Schubert.

Malam itu Pranawengrum tampil menyanyikan 13 dari 32 lagu yang dipilih dari khasanah musik seriosa Indonesia yang terentang selama lebih dari empat dasawarsa. Bagi mereka yang pernah mendengar satu-satunya rekaman Pranawengrum, malam itu seperti membawa kembali mereka ke satu saat di masa lalu, bukan saja ke saat ketika jenis musik itu berada di zaman keemasannya, tetapi juga saat Pranawengrum masih berada di puncak keindahan suaranya.

Di dalam rekaman tersebut ada pula Setitik Embun Mochtar Embut dan Kisah Mawar di Malam Hari Iskandar. Kini, Pranawengrum Katamsi seperti ingin mengabarkan bahwa generasi baru penyanyi musik seriosa telah lahir dengan Aning dan Binu yang amat piawai menyanyikan lagu-lagu yang pernah begitu dekat di hatinya itu.

***

EMPAT puluh tahun lalu, Pranawengrum yang berusia 18 tahun adalah gadis remaja berambut panjang yang tinggal di Jalan Purwanggan, Yogyakarta. Ia yang baru saja memenangi kejuaraan Bintang Pelajar se-Indonesia di Jakarta untuk jenis seriosa mulai dikenal masyarakat. Saat itu lah, yang juga dikenang dengan baik oleh N Simanungkalit-salah seorang gurunya-rupanya menjadi tonggak bagi perjalanan karier profesionalnya di bidang seni suara.

Pada saat itu pun Simanungkalit telah punya keyakinan Pranawengrum akan tumbuh menjadi penyanyi seriosa top, mengikuti penyanyi seriosa seniornya seperti Surti Suwandi, Sunarti Suwandi, Nani Yosodiningrat, dan Kusmini Projolalito.

Keyakinan atau ramalan Simanungkalit itu setahap demi setahap menjadi kenyataan. Setahun setelah kejuaraan di Jakarta, saat masih sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Pranawengrum yang juga menjadi harapan utama dan primadona universitasnya, tampil sebagai juara pertama dalam Pekan Kesenian Mahasiswa seluruh Indonesia di Denpasar Bali.

Setelah itu, tampaknya Pranawengrum tak terbendung lagi. Posisi di puncak seni seriosa Indonesia ini antara lain dilambangkan dengan keberhasilannya memenangi sebagai juara pertama selama tujuh kali kejuaraan Bintang Radio (dan TV) untuk tahun 1964, 1965, 1966, 1968, 1974, 1975, dan 1980. Karena mencapai prestasi tertinggi dalam lomba bintang radio dan TV, Pranawengrum mendapatkan penghargaan "Piala WR Supratman".

Sebagai seniwati musik, Pranawengrum sempat pula ikut menyaksikan perjalanan bangsanya, bukan saja mendapatkan piala dari Presiden Soekarno, tetapi juga ikut berangkat ke Irian Jaya untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan itu, juga dalam masa transisi politik pasca-tahun 1965. Dalam satu konser ke Bandung dan Jakarta, rombongan seniman asuhan Pangdam Diponegoro Mayjen Surono sempat pula melihat Pranawengrum-seperti dituturkan Simanungkalit-harus membawa putrinya, Ratna, yang baru berumur dua bulan.

Tampil menghibur masyarakat yang merindukan musik indah bermutu tinggi boleh jadi menjadi salah satu kegiatannya selama ini. Selain tak jarang diiringi piano yang dimainkan oleh Ratna, yang kini mengajar di Yayasan Pendidikan Musik Jakarta, Pranawengrum juga pernah tampil bersama rombongan La Grande Opera, Twilite Orchestra, Orkes Remaja Bina Musika, dan Orkes Simponi Jakarta.

Prana juga menjadi solis tamu dalam Pentas Paduan Suara Mahasiswa Nommensen Medan, membawakan Oratorium The Messiah (Handel), juga bersama Orkes mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta pimpinan Ed van Ness membawakan The Creation (Haydn). Ia juga berkolaborasi dengan konduktor Richard Haskin dari Orkes PPIA, pemimpin koor N Simanungkalit, Max Rukmarata, dan FX Sutopo. Ilmu dan kepandaiannya di bidang suara juga ia berikan ke masyarakat dengan menjadi pelatih dan pembina sejumlah paduan suara.

***

KETIKA generasi penerus telah hadir, Pranawengrum yang kelahiran Yogyakarta 28 Maret 1943, merasa sebagian tugasnya juga telah ia laksanakan. Bila Aning merupakan satu elemen penting dari generasi penerus penyanyi seriosa Indonesia, Prana telah berbuat lebih dari sebagai ibu, karena ia ikut membentuk pendidikan musik awal Aning.

Apa yang telah ia serap dari guru-gurunya: R Suwandi, Suthasoma, Kusbini, N Simanungkalit, dan di Jakarta juga Binsar Sitompul, Pranajaya, Annette Frambach, Sari Indrawati, EL Pohan, dan FX Sutopo - sedikit atau banyak, pastilah mengalir ke Aning. Bahkan kebiasaannya untuk berlatih, vocalising, di kamar mandi pun pasti juga melahirkan inspirasi musik, tidak saja bagi Aning dan Ratna, tetapi bahkan bagi Doddy, satu-satunya putra di keluarga Katamsi.

Dengan usia yang terus merayap, mungkin saja ada unsur-seperti power-yang mulai surut dari Pranawengrum. Tetapi, seperti ia perlihatkan Rabu malam lalu, kekhasan soprano ini tetap utuh: warna suara yang indah, presisi penempatan nada (pitch), dan kejelasan diksi (mengingat yang banyak ia nyanyikan bisa dikatakan adalah puisi Indonesia).

Semua itu bagi Pranawengrum adalah anugerah yang harus ia jaga, betapa pun usia perlahan mengikisnya. Melakukan olahraga hidup baru (Orhiba) dan jalan kaki adalah satu di antara upayanya untuk memperpanjang kemampuan olah vokalnya.

Selebihnya, penyanyi yang disunting oleh Dokter Amoroso Katamsi yang dikenal sebagai deklamator dan pemain teater/film ini, tetap menyukai perannya sebagai ibu rumah tangga yang senang memasak dan menjahit. "Yang saya masak hidangan kesenangan Mas Katam, seperti oseng-oseng sawi putih dan taoge," tutur nenek yang tak lama lagi akan memiliki cucu kelima ini menjelang Konser Perjalanan Kariernya Selasa lalu.

Bila masih ada keinginan yang hidup di hatinya, itu adalah "Melihat musik seriosa Indonesia kembali hidup seperti tahun 1960-an." Untuk itu ia masih ingin membuat rekaman apa yang pernah ia nyanyikan selama ini.

Konser 40 tahun kariernya tampak membuatnya amat terharu. Pada bagian kedua, saat ia menyanyikan Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki, Pranawengrum tampak disergap keharuan amat sangat, sehingga genangan air mata sempat menghentikan sejenak nyanyiannya.

Mungkin saja karier Pranawengrum tidak sempat melahirkan efek gegap-gempita, baik oleh sebab jenis seni yang ia pilih, atau oleh pembawaan pribadinya yang sederhana. Tetapi, ia adalah juru bicara seni musik kelas tinggi, yang berjasa menggemakan ciptaan indah karya komposer besar Indonesia, dan mengantar generasi penerusnya dengan spirit dan inspirasi. Sementara dirinya sendiri, cukuplah seperti apa yang dilantunkan oleh penyanyi Tosca dari opera Tosca karya Puccini: Vissi d'Arte, hidupku untuk seni.

Tidak ada komentar: